Untuk masyarakat kalangan pesantren, tentu sudah familiar dengan kitab bernama Fathul Mu’in. Kitab ini ditulis oleh syekh Zainuddin Al Malibari India yang merupakan kitab penjelasan atau Syarah dari kitab Qurrotul Ain.
Pada kesempatan kali ini akan sedikit dibahas mengenai pengarang kitab Fathul Muin, sehingga selain mengetahui kitabnya juga mengetahui bagaimana kehidupan pengarang kitab ini.
Sebenarnya Syaik Zainuddin juga menulis kitab lainnya yang cukup populer di kalangan pesantren Indonesia, misalnya Irsyadul Ibad. Karena kemasyhuran kitab yang ditulisnya itulah yang membuat kita perlu mengetahui kisah perjalanan Syaikh Zainuddin dalam hidupnya.
Kisah Masa Kecil dan Tempat Kelahiran Pengarang Kitab Fathul Mu’in
Syekh Zainuddin Al-Malibari, memiliki nama asli Ahmad Zainuddin, beliau merupakan pengarang kitab Fathul Muin yang lahir di tahun 938H/1532M di Chombal. Beliau lahir dan tumbuh di lingkaran keluarga ulama sehingga kedua orang tuanya berusaha untuk memberikan pendidikan terbaik, terutama dari sang ayah yang bernama Syekh Al-Ghazali yang merupakan ulama alim.
Sang ayah selalu mengajarkan pondasi ilmu agama yang kuat kepada beliau kemudian setelahnya beliau diserahkan kepada Syekh Abdul Aziz yang merupakan pamannya. Syekh Abdul Aziz merupakan pengajar di madrasah masjid yang dibangun oleh kakeknya di Ponnani. Ketika Syekh Zainuddin Al-Malibari menginjak usia remaja, beliau sudah menghafal Alquran serta belajar berbagai ilmu agama penting lainnya.
Selanjutnya setelah dirasanya cukup untuk belajar ilmu agama di India, seperti halnya tradisi para alim zaman dahulu beliau memutuskan untuk pergi ke tanah suci. Beliau pergi ke sana untuk beribadah haji sekaligus belajar berbagai ilmu agama. Saat berada di Mekah, Syekh Zainuddin Al Malibari menimba ilmu agama dari Ibnu Hajar Al Haitami, yaitu seorang ulama mazhab fiqih yang sangat masyhur saat itu.
Ibnu Hajar Al Haitami juga merupakan sahabat kakek Zainuddin, bahkan Ibnu Hajar pernah pergi ke India dan tinggal di Ponnani, tepatnya di masjid milik kakek Zainuddin. Di India Ibnu Hajar menyampaikan beberapa fatwa, dan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa, “Ibnu Hajar pernah pergi ziarah ke masjid ponani untuk mengajar ilmu agama.”
Syah Zainuddin Al Malibari juga menimba ilmu ke beberapa alim ulama terkemuka saat itu seperti Syekh wajihuddin Abdurrahman bin Ziyad, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Az-Zamzami, Syekh Syamsudin Ar Ramli Al Azhari, Syekh Wajihuddin Abdurrahman bin Ziyad, Al Khotib as Syirbini Al-Azhari, dan berbagai ulama lainnya.
Selama beberapa tahun, Syekh Zainuddin menetap di Hijaz untuk menimba ilmu, sebelum akhirnya beliau pulang kembali ke tanah airnya, India.
Kitab Fathul Mu’in Membahas Tentang?
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kitab Fathul Mu’in adalah Syarah atau penjelasan dari kitab Qurrotul Ain yang dikarang oleh beliau sendiri. Awalnya, syaikh Zainuddin menulis kitab Qurrotul Ain yang di dalamnya menjelaskan seputar hukum Islam atau ilmu fiqih. Selanjutnya beliau menjabarkan isi kitab Qurrotul Ain itu dalam kitab Fathul Mu’in.
Pengarang kitab Fathul Muin ini menulis kitab tersebut karena ingin lebih memperjelas inti dari kitab yang sebelumnya beliau tulis, sehingga makna dan isinya menjadi lebih jelas dan mudah dipahami.
Isi materi kitab Fathul Mu’in sangat berbobot sehingga kitab ini seringkali dijadikan sebagai kurikulum dalam kitab fiqih baik untuk para pelajar tingkat menengah maupun belajar tingkat lanjut di perguruan tinggi maupun pondok pesantren di Indonesia.
Kitab Fathul Muin berisi rangkuman yang membahas hukum Islam atau fikih hasil dari berguru atau menimba ilmu dari kitab gurunya, yakni Ibnu Hajar Al Haitami.
Ciri-ciri dari kitab Fathul Mu’in yaitu ringkas dan padat tetapi cakupan materi fiqih yang dibahas di dalamnya bersifat menyeluruh. Dengan begitu maka para pelajar maupun santri akan lebih mudah untuk memahami berbagai materi fiqih khususnya untuk belajar tingkat menengah dan tingkat lanjutan.
Bahkan kitab Irsyadul Ibad karya beliau juga menjadi salah satu kitab yang masyhur. Kitab tersebut membahas tentang fiqih yang dijelaskan dalam nuansa tasawuf.
Saat membaca kitab karya beliau, seolah kita bisa masuk dengan gaya bahasa kitab tasawuf dan kitab fiqih yang dipadukan dengan penjabaran yang mudah dipahami dan menarik.
Banyak kalangan yang ingin mengkaji kitab ini, khususnya para santri karena dapat dijadikan sebagai hidayah dan petunjuk untuk beribadah. Jadi saat beribadah tidak hanya memperhatikan sisi sah atau tidaknya saja, tetapi juga mengutamakan sisi etika dan adab saat beribadah, seperti yang dijelaskan di dalam kitab tersebut.
Perbedaan Kitab Fathul Mu’in dengan Kitab Fikih Lain
Pengarang kitab Fathul Muin ini sengaja menulis kitab fiqih ini dengan struktur penulisan yang unik sehingga berbeda dengan kitab fikih pada umumnya.
1. Menjelaskan bab sholat di pembahasan awal
Saat masuk ke pembahasan awal, Syekh Zainuddin mengawalinya dengan menulis tentang bab shalat. Hal ini membedakan kitab ini dengan kitab fiqih pada umumnya, karena biasanya kitab fiqih membahas aturan thoharoh atau bersuci terlebih dahulu di awal pembahasan.
2. Sulit dalam penempatan rujukan kata ganti
Kitab Fathul Mu’in merupakan salah satu kitab yang sulit terkait dengan penempatan kata ganti atau sebuah dhomir, misalnya di pembahasan syarat-syarat shalat.
Sedangkan saat melihat kitab fiqih secara garis besar, kebanyakan syarat-syarat salat mempunyai fase atau bab tertentu dan pembahasannya pun spesifik dan tidak kemana-mana.
Pembahasan awal tentang pengertian dan syarat sebelum melaksanakan salat mulai ada di halaman ke-4 pada kitab Fathul Mu’in. Sedangkan untuk pembahasan akhir syarat salat berakhir di halaman 15.
Padahal jika dikaji, dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hanya ada 5 syarat salat, yaitu menghadap kiblat, suci badan, pakaian, dan tempat dari najis suci dari hadas, sudah masuk waktu salat, dan menutup aurat.
Namun ternyata ketika menjelaskan dan menjabarkan satu persatu, juga menyinggung pembahasan lainnya.
3. Tidak ditulis secara sistematis
Melihat pembahasan yang melebar dalam kitab ini, pengarang kitab Fathul Muin memang menulis kitab ini secara tidak sistematis.
Bagi para pengkaji ilmu fiqih tentu mendapati tantangan tersendiri ketika belajar baris demi baris dalam kitab tersebut. Bahkan kitab tersebut mengajak para pembaca untuk merenungi Hasanah keilmuan Islam yang merupakan warisan para salafus shalih yang berbeda dari berbagai kitab.
4. Memiliki beberapa tanda semacam terminal pembahasan
Dalam kitab Fathul Mu’in ada beberapa tanda seperti far’un, tanbihun dan faidah, qoidah, dan tatimmah atau muhimmah.
- Far’un merupakan permasalahan cabang yang dibahas secara rinci
- Tanbihun adalah peringatan dalam kitab untuk mewanti-wanti pembacanya di pembahasan tertentu yang terdapat catatan sangat penting.
- Faidah adalah manfaat.
- Qoidah merupakan pemberian pengaplikasian kaidah fiqih sehingga lebih mudah memahami ilmu fiqih.
- Tatimmah atau muhimmah merupakan penyempurna dari fasl yang sedang dibahas.
Demikianlah penjelasan tentang pengarang kitab Fathul Muin dan apa saja yang dibahas di dalam kitab tersebut. Untuk bisa belajar kitab fiqih, alangkah baiknya untuk belajar ilmu nahwu shorof serta bahasa Arab karena dalam mempelajari kitab fiqih, hal tersebut sangat dibutuhkan.
Yuk belajar ilmu terbaru seputar bahasa Arab, tahsin dan Ilmu Al-Quran bersama Pondok Tahfidz dan Tahsin Annajah Kampung Inggris Pare. Di sini Anda akan mendapatkan atmosfer dan sensasi belajar yang kondusif, interaktif serta berbeda dari yang lainnya.
Sekarang hafalan Quran di Annajah bisa bonus lancar bahasa Inggris loh. Tunggu apa lagi? Yuk daftarkan diri Anda di Program Tahfidz + English Annajah Kampung Inggris Pare sekarang juga!
Baca juga: Pengarang Kitab tijan ad-durori